Sabtu, 28 Maret 2015

Freeport : Mereka Datang, Alam Menghilang






    PT Freeport Indonesia, Merupakan perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan. PTFI menambang, memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas dan perak. Beroperasi di daerah dataran tinggi di Kabupaten Mimika Provinsi Papua, Indonesia. Kami memasarkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas dan perak ke seluruh penjuru dunia.

   Kompleks tambang milik kami di Grasberg merupakan salah satu penghasil tunggal tembaga dan emas terbesar di dunia, dan mengandung cadangan tembaga yang dapat diambil yang terbesar di dunia, selain cadangan tunggal emas terbesar di dunia. Grasberg berada di jantung suatu wilayah mineral yang sangat melimpah, di mana kegiatan eksplorasi yang berlanjut membuka peluang untuk terus menambah cadangan kami yang berusia panjang.

Tentang Freeport-McMoRan
    Freeport-McMoRan (FCX) merupakan perusahaan tambang internasional utama dengan kantor pusat di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat. FCX mengelola beragam aset besar berusia panjang yang tersebar secara geografis di atas empat benua, dengan cadangan signifikan terbukti dan terkira dari tembaga, emas dan molybdenum. Mulai dari pegunungan khatulistiwa di Papua, Indonesia, hingga gurun-gurun di Barat Daya Amerika Serikat, gunung api megah di Peru, daerah tradisional penghasil tembaga di Chile dan peluang baru menggairahkan di Republik Demokrasi Kongo, kami berada di garis depan pemasokan logam yang sangat dibutuhkan di dunia.

    Freeport-McMoRan merupakan perusahaan publik di bidang tembaga yang terbesar di dunia, penghasil utama di dunia dari molybdenum – logam yang digunakan pada campuran logam baja berkekuatan tinggi, produk kimia, dan produksi pelumas – serta produsen besar emas. Selaku pemimpin industri, FCX telah menunjukkan keahlian terbukti untuk teknologi maupun metode produksi menghasilkan tembaga, emas dan molybdenum. FCX menyelenggarakan kegiatan melalui beberapa anak perusahaan utama; PTFI, Freeport-McMoRan Corporation dan Atlantic Copper.

Masalah PT. freeport
    Aktivitas pertambangan Freeport telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang kian parah.Hal ini telah melanggar UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.Beberapa kerusakan lingkungan yang diungkap oleh media dan LSM adalah, Freeport telah mematikan 23.000 ha hutan di wilayah pengendapan tailing.Merubah bentang alam karena erosi maupun sedimentasi. Meluapnya sungai karena pendangkalan akibat endapan tailing, dengan beragam kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas pertambangan Freeport, mestinya pemerintah melakukan langkah pengamanan sesuai dengan peraturan undang-undang yang berlaku, khususnya pelanggaran terhadap UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan perundang-undangan mengharuskanadanya upaya pencegahan bagi kerusakan lingkungan lebih lanjut, jadi seharusnya pemerintah menghentikan aktivitas penambangan Freeport, kemudian melakukan upaya perbaikan lingkungan.Pemerintah dapat mengehentikan kontrak karya pertambangan karena kerusakan lingkungan yang terjadi di Timika. Proses penambangan dapat dihentikan sementara sampai kerusakan lingkungan dapat diperbaiki dan perbaikan kerusan lingkungan menjadi tanggung jawab Freeport.

    Aktivitas pertambangan Freeport dinilai telah melanggar UU Kehutanan, yang mengamanatkan, aktivitas penambangan tidak dibolehkan di kawasan hutan lindung.Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan harus dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud adalah yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
   Freeport telah mengakibatkan kerusakan alam dan mengubah bentang alam serta mengakibatkan degradasi hutan yang seharusnya ditindak tegas pemerintah.Hal ini karena mengancam kelestarian lingkungan dan melanggar prinsip pembangunan berwawasan lingkungan yang diamanatkan UUD 1945 pasal 33.

     Pemerintah telah kehilangan nurani, yang seharusnya saat ini harus berani mengambil langkah tegas menindak Freeport yang jelas-jelas telah melanggar hukum. Sementara dasar hukum untuk itu sudah tersedia. Undang-Undang tentang Lingkungan Hidup, Undang-Undang Kehutanan dan Perpajakan dapat dipergunakan bila memang ada niat baik dari pemerintah untuk menghentikan ulah Freeport ini. Langkah pertama, dengan melakukan audit lingkungan dan audit keuangan terhadap Freeport.

     Pemerintah tidak boleh terus membiarkan ketidakadilan ini. Karena itu, langkah berikutnya adalah pemerintah harus percaya diri mengkaji ulang dan mengoreksi kebijakan serta isi KK Freeport. KK dengan Freeport harus diubah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

     Undang-undang ini memerintahkan agar seluruh KK yang beroperasi di Indonesia sebelum UU ini terbit, harus disesuaikan. Secara spesifik, Pasal 169 butir b pada Bab Peralihan telah mengamanatkan agar isi Kontrak Karya, tanpa terkecuali Kontrak Karya Freeport, agar disesuaikan dengan isi UU tersebut paling lambat satu tahun sejak UU disahkan. Dan ini adalah perintah UU. Karena itu, pemerintah harus percaya diri mengubah isi KK Freeport. Pemerintah yang tidak melaksanakan perintah UU tidak layak dipertahankan.

Dampak yang ditimbulkan PT Freeport
·         Dampak terhadap Lingkungan
        Total limbah batuan yang dihasilkan PT. Freeport Indonesia mencapai 1.4 milyar ton. Masih ditambah lagi, buangan limbah tambang (tailing) ke sungai Ajkwa sebesar 536 juta ton. Total limbah batuan dan tailing PT Freeport mencapai hampir 2 milyar ton lebih. Prediksi buangan tailing dan limbah batuan hasil pengerukan cadangan terbukti hingga 10 tahun ke depan adalah 2.7 milyar ton. Sehingga untuk keseluruhan produksi di wilayah cadangan terbukti, PT FI akan membuang lebih dari 5 milyar ton limbah batuan dan tailing. Untuk menghasilkan 1 gram emas di Grasberg, yang merupakan wilayah paling produktif, dihasilkan kurang lebih 1.73 ton limbah batuan dan 650 kg tailing. Bisa dibayangkan, jika Grasberg mampu menghasilkan 234 kg emas setiap hari, maka akan dihasilkan kurang lebih 15 ribu ton tailing per hari. Jika dihitung dalam waktu satu tahun mencapai lebih dari 55 juta ton tailing dari satu lokasi saja.

        Berdasarkan analisis citra LANDSAT TM tahun 2002 yang dilakukan oleh tim WALHI, limbah tambang (tailing) Freeport tersebar seluas 35,000 ha lebih di DAS Ajkwa. Limbah tambang masih menyebar seluas 85,000 hektar di wilayah muara laut, yang jika keduanya dijumlahkan setara dengan Jabodetabek. Total sebaran tailing bahkan lebih luas dari pada luas area Blok A (Grasberg) yang saat ini sedang berproduksi. Peningkatan produksi selama 5 tahun hingga 250,000 ton bijih perhari dapat diduga memperluas sebaran tailing, baik di sungai maupun muara sungai.

·         Dampak terhadap Ekonomi
   Indonesia dirugikan, karena selama ini negara mendapat bagian yang sangat kecil dibandingkan dengan yang diperoleh PT Freeport. Tercatat, dari tahun 2005 - September 2010, total penjualan PTFI sebesar US$ 28.816 juta atau Rp 259,34 triliun; laba kotornya US$ 16.607 juta atau Rp 150,033 triliun. Bandingkan dengan royalti yang dibayarkan kepada Indonesia hanya sebesar US$ 732 juta atau Rp 6,588 triliun.

   Jika dihitung dari tahun 1992 (setelah KK II) kontribusi PTFI mencapai US$ 10,4 milyar (royalti sebesar US$ 1,1 milyar dan dividen sebesar US$ 1 milyar). Artinya, total dividen dan royalti mencapai sekitar Rp 18 triliun (selama 18 tahun). Dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2009, pemerintah -sebagai pemegang 9,36 % saham PTFI- mendapat deviden dari PTFI sebesar Rp 2 triliun. Itu artinya pada tahun 2009 itu Freeport McMoran sebagai pemegang 90,64% saham PTFI mendapat deviden sekitar Rp 20 Triliun. Sementara, potensi yang masih ada di tambang Freeport sendiri masih lebih dari Rp 600 triliun.

    Para petinggi Freeport juga mendapatkan fasilitas, tunjangan dan keuntungan yang besarnya mencapai 1 juta kali lipat pendapatan tahunan penduduk Timika, Papua. Keuntungan Freeport tak serta merta melahirkan kesejahteraan bagi warga sekitar. Keberadaan Freeport tidak banyak berkontribusi bagi masyarakat Papua, bahkan pembangunan di Papua dinilai gagal.Kegagalan pembangunan di Papua dapat dilihat dari buruknya angka kesejahteraan manusia di Kabupaten Mimika. Penduduk Kabupaten Mimika,lokasi di mana Freeport berada, terdiri dari 35% penduduk asli dan 65% pendatang. Pada tahun 2002, BPS mencatat sekitar 41 persen penduduk Papua dalam kondisi miskin, dengan komposisi 60% penduduk asli dan sisanya pendatang. Pada tahun 2005, Kemiskinan rakyat di Provinsi Papua, yang mencapai 80,07% atau 1,5 juta penduduk. Pemiskinan terus berlangsung di wilayah Mimika. Kesejahteraan penduduk Papua tak secara otomatis terkerek naik dengan kehadiran Freeport yang ada di wilayah mereka tinggal. Di wilayah operasi Freeport, sebagian besar penduduk asli berada di bawah garis kemiskinan dan terpaksa hidup mengais emas yang tersisa dari limbah Freeport. Selain permasalahan kesenjangan ekonomi, aktivitas pertambangan Freeport juga merusak lingkungan secara masif serta menimbulkan pelanggaran HAM.

Adanya Kasus Pelanggaran HAM yang Disebabkan oleh Pihak Freeport dan Kaitanya dengan Pancasila
     Komnas HAM melakukan investigasi pelanggaran HAM yang terjadi di daerah Timika dan sekitarnya. Kesimpulan anggota tim investigasi Komnas HAM, mengungkapkan bahwa selama 1993-1995 telah terjadi 6 jenis pelanggaran HAM, yang mengakibatkan 16 penduduk terbunuh dan empat orang masih dinyatakan hilang. Pelanggaran ini dilakukan baik oleh aparat keamanan FI maupun pihak tentara Indonesia. Dalam selembar surat jawaban kepada editor American Statement, Ralph Haurwitz, Atase Penerangan Kedubes Amerika Serikat di Jakarta Craig J. Stromme menyatakan bahwa tidak ditemukan bukti yang dapat dipercaya atas tuduhan pelanggaran HAM oleh Freeport di Irian Jaya. Gugatan Tom Beanal, Ketua Lembaga Adat Suku Amungme (Lemasa) terdaftar di pengadilan Louisiana, markas besar FCX, dengan kasus no.96-1474. 

    Belakangan, gugatan ini ditolak dan pengadilan menyatakan Freeport tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM.Hampir seluruh kasus pelanggaran HAM terkait tambang Freeport tidak jelas penyelesaiannya.Para pelaku kejahatan HAM ini umumnya tidak ditemukan atau mendapat perlindungan sehingga lolos dari jerat hukum.Keadilan bagi korban pelanggaran HAM kasus-kasus Freeport tampaknya memang suatu hal yang absurd.Tidak ada investigasi yang menemukan keterkaitan Freeport se-cara langsung dengan pelanggaran HAM, tetapi semakin banyak orang-orang Papua yang menghubungkan Freeport dengan tindak kekerasan yang dilakukan oleh TNI, danpada sejumlah kasus kekerasan itu dilakukan dengan menggunakan fasilitas Freeport. Seorang ahli antropologi Australia, Chris Ballard, yang pernah bekerja untuk Freeport, dan Abigail Abrash, seorang aktivis HAM dari Amerika Serikat, memperkirakan, sebanyak 160 orang telah dibunuh oleh militer antara tahun 1975–1997 di daerah tambang dan sekitarnya. 

ketentuan Hukum Tentang Pengawasan Pemerintah terhadap PT. Freeport sudah terdapat pada :
1.    Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 :
     “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Penjelasan dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua dan untuk semua dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat-lah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang.

    Sebenarnya secara tegas Pasal 33 UUD 1945 beserta penjelasannya, melarang adanya penguasaan sumber daya alam ditangan orang-seorang. Dengan kata lain monopoli, oligopoli maupun praktek kartel dalam bidang pengelolaan sumber daya alam adalah bertentangan dengan prinsip pasal 33.

    Masalahnya ternyata sekarang sistem ekonomi yang diterapkan bersikap mendua. Karena ternyata hak menguasai oleh negara itu menjadi dapat didelegasikan kesektor-sektor swasta besar atau Badan Usaha Milik Negara buatan pemerintah sendiri, tanpa konsultasi apalagi sepersetujuan rakyat. “Mendua” karena dengan pendelegasian ini, peran swasta di dalam pengelolaan sumberdaya alam yang bersemangat sosialis ini menjadi demikian besar, dimana akumulasi modal dan kekayaan terjadi pada perusahaan-perusahaan swasta yang mendapat hak mengelola sumberdaya alam ini.

2.    Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Penguasaan Mineral dan Batubara
    Pasal 4 :“Mineral  dan batubara sebagai sumber daya dan yang tak terbarukan rnerupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.  Penguasaan mineral dan batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah. “

3.    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
PENGAWASAN DAN SANKSI ADMINISTRATIF, Pasal 71
a.    Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
b.   Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
c.    Dalam melaksanakan Pengawasan, Menteri, Gubernur, atau bupati/walikota menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional.

4.   Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN, Pasal 74
a.       Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
b.      Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
c.       Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai  sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
d.      Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah.



Sumber:
http://ptfi.co.id/id/about/overview
http://gerry-elektro.blogspot.com/2012/11/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html